Daftar Isi
Pasar Papringan Temanggung merupakan destinasi wisata baru yang seakan mengajak pengunjung kembali ke masa lampau dengan mesin waktu.
Mengapa? Karena pasar ini memiliki konsep mengikuti pasar di zaman dahulu, seperti lokasi, mata uang, ‘seragam’ penjual, bahkan tempat barang belanjaan.
4 Konsep Tempo Dulu Pasar Papringan Temanggung, Unik, Klasik, Juga Keren
Pasar Papringan Temanggung dibentuk dan dikelola pemuda Dusun Ngadiprono dalam Komunitas Mata Air, sebuah komunitas yang peduli akan upaya konservasi lingkungan.
Upaya ini mendapat sambutan hangat dari lembaga pemerintah, yang kemudian membantu usaha konservasi rumpun bambu.
Kata papringan sendiri berarti kebun bambu. Pasar Papringan merupakan pasar di kebun bambu. Pada awalnya, Pasar Papringan Temanggung terletak di Kandangan, namun gelaran tersebut hanya berlangsung sembilan kali dalam waktu satu tahun.
Oleh karena itu, dengan pendampingan pemerintah, ide pasar dikembangkan dengan manajemen yang lebih baik. Pertama, dilakukan proses penataan rumpun bambu dan pengelolaan parkir.
Pemuda Komunitas Mata Air, menata area pembuangan sampah di kebun bambu hingga terlihat layak, enak, dan nyaman ditempati. Rumpun bambu yang tidak terawat dan terkesan menakutkan itu pun ditata menjadi pasar.
Lengkap dengan lapak, tempat duduk, juga area parkir ala tempo dulu. Penataan ini sekaligus untuk menghidupkan wisata di desanya. Kedua, sosialisasi kepada masyarakat.
Ketiga, pemberian edukasi pada warga Dusun Ngadiprono, lalu menyeleksi berbagai komoditi yang akan dijual.
Kini, setiap kali Pasar Papringan digelar, selalu dikunjungi ribuan orang yang tidak hanya datang dari daerah Temanggung saja. Banyak wisatawan dari luar kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, dan Magelang yang datang berkunjung.
Mereka ingin melihat dan merasakan sendiri keunikan salah satu dari tempat wisata di Temanggung yaitu Pasar Papringan ini. Berikut beberapa keunikannya, yang berhasil menghidupkan wisata di desa tersebut:
Lokasi Pasar Papringan Temanggung
Sesuai dengan namanya, area pasar ini berada di rumpun bambu seluas 2.500 m² di Dusun Ngadiprono, Temanggung, Jawa Tengah.
Area yang awalnya dianggap kotor, bahkan malu diakui sebagai milik, dengan penataan dan manajemen yang baik justru menghasilkan.
Para pemilik lahan mendapatkan biaya sewa sebesar Rp.10.000 per lapak dalam satu kali gelaran pasar.
Ada sekitar dua puluh pelapak yang semuanya warga Dusun Ngadiprono di sini. Pendapatan lumayan bagi pemilik lahan yang tadinya hanya merupakan pembuatan sampah, bukan?
Penataan pasar yang menggunakan konsep outdoor, membuat nuansa pasar tradisional tempo dulu semakin terasa.
Setiap lapak menggunakan lincak (kursi panjang biasanya berfungsi sebagai tempat duduk, santai dan tiduran) dari bambu sebagai tempat berjualan. Di bawah rindangnya rumpun bambu, pengunjung dan pelapak melakukan aktivitasnya.
Tiupan lembut angin, goyangan rumpun bambu, cahaya matahari yang malu-malu menembus rumpun, membuat suasana pasar begitu syahdu. Dibumbui celoteh warga pasar yang ramai dan ceria, memang menawarkan keunikannya sendiri.
Sebagai lokasi wisata, Anda akan dikenakan tiket masuk sebesar Rp.5.000 per orang. Apabila Anda membawa kendaraan, maka tiket parkir motor Rp.3.000 dan mobil Rp.5.000.
Hari Pasar Pasar Papringan Temanggung
Sebagaimana konsepnya gelaran pasar tempo dulu, pasar dibuka berdasarkan hari baik dalam penanggalan Jawa. Dalam hal ini, hitungan hari baik itu jatuh pada Minggu Wage dan Minggu Pon.
Sedangkan jam operasional Pasar Papringan Temanggung mulai dari pukul 6 pagi hingga 12 siang. Pasar Papringan digelar dua kali dalam 35 hari (selapan pada kalender Jawa, lebih beberapa hari dari 1 bulan kalender Masehi).
Oleh karena itu, pastikan Anda mengetahui jadwal hari pasar ini, sebelum datang berkunjung. Terutama bagi Anda yang tinggal di luar kota. Jangan sampai Anda sudah jauh-jauh datang, namun Pasar Papringan Temanggung tidak ada.
Meski demikian, area ini tetap ramai pada hari Minggu selain hari pasar. Warga Dusun Ngadiprono banyak yang datang melakukan kerja bakti seperti membersihkan sampah juga daun-daun kering, serta menata kembali rumpun-rumpun bambu.
Dengan demikian lokasi papringan tetap nyaman pada hari pasar, dan siap menyambut wisatawan yang datang di hari minggunya.
Alat Bayar
Sesuai konsep pasar, alat pembayarannya pun menggunakan mata uang tempo dulu, Pring, namun lebih dikenal dengan nama Koin Bambu.
Mata uang ini terbuat khusus dari kayu bercap Pasar Papringan di satu sisi, dan sisi lainnya bertuliskan nilai mata uang. 1 pring bila diRupiahkan sama dengan Rp.2000.
Anda perlu menukarkan uang Rupiah dengan koin bambu ini terlebih dahulu, karena mata uang lain tidak berlaku di pasar Papringan. Selain itu, Anda akan dapat mendalami sensasi tempo dulu dengan bertransaksi dalam mata uang ini.
Penukaran uang dilakukan di loket sebelum pintu masuk pasar. Nominal terkecil adalah Rp2.000, kemudian kelipatan Rp20.000 dan Rp50.000.
Daftar harga pun menyesuaikan dengan alat pembayaran. Contohnya, makanan berat senilai 2-6 Pring. Dimana 2 Pring setara dengan 4.000 Rupiah.
Tak perlu khawatir tidak paham, penjual akan dengan senang hati membantu Anda memahami konsep currency unik ini.
Untuk bungkus barang-barang belanjaan, panitia sudah menyiapkan besek, keranjang, atau wadah berbentuk kotak dari anyaman bambu. Baik penjual maupun pengunjung tidak boleh menggunakan bungkus plastik untuk membawa barang-barang tersebut.
Sebuah totalitas yang keren, bukan? Selain ramah lingkungan, juga mendukung produksi anyaman bambu warga sekitar.
Di sisi lain, meningkatkan prestige pasar. Bagi wisatawan dari luar kota ataupun mancanegara, bahkan bungkus belanjaan ini pun dapat dijadikan souvenir.
Seragam Penjual
Seragam penjual disini bukan benar-benar seragam, sama warna, model dan motif pakaian. Akan tetapi para penjual, panitia, dan seluruh jajaran nya (termasuk penjaga parkir dan loket) mengenakan baju lurik.
Baju khas masa lalu ini akan semakin mengajak Anda seakan pindah ke masa lalu. Suasana tempo dulu semakin menjadi dengan alunan gamelan yang diperdengarkan selama pasar buka.
Para penjual ini menjajakan aneka makanan dan minuman khas Temanggung. Semisal gemblong, mendut, glanggem, jenang, srowol, kimpul kukus, lentheng, juga grubi.
Jajanan khas Jawa yang mulai jarang ditemui, bisa Anda dapatkan dengan mudah di sini.
Selain itu ada juga kerajinan bambu (terutama produk souvenir), serta berbagai hasil pertanian penduduk desa, seperti pasar tradisional pada umumnya.
Meski tradisional dan dijual outdoor, tapi Anda tak perlu khawatir akan kehigienisannya, terutama makanan dan minuman.
Seluruh sayuran, makanan, minuman, bahkan barang kerajinan yang dijual di Pasar Papringan memiliki kualitas terjamin karena telah melalui proses seleksi.
Salah satu penjual nasi megono, Yuliana (34), mengaku merasakan manfaat ekonomi dari pasar ini. Setiap kali gelaran, hasil yang didapatkan sekitar 700 hingga 800 ribu Rupiah.
Meski pasar tradisional, namun Pasar Papringan Temanggung yang digelar di bawah naungan pohon bambu menjadikan suasana sejuk. Ditambah lagi sifat bambu yang dingin, mampu melawan terik matahari tanpa AC atau kipas.
Keunikan Pasar Papringan Temanggung pun mampu merangkul generasi milenial dengan segudang media sosialnya. Kawasan hutan bambu yang tertata membuat suasana klasik, pasti keren untuk hasil foto vintage dan instagramable.
Follow Kami